Pages

Cari Blog Ini

Minggu, 29 Mei 2011

Takhrijul Hadits

A. Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij menurut lughat berasal dari kata خرج, yang berarti ‘tampak’ atau ‘jelas’. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan, melatih, dan menghadapkan.
Sedangkan takhrij menurut istilah di jelaskan sebagai berikut :
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
2. Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang lainnya.
3. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannnya dari kitab-kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad-sanad hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pen-takhrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis ( sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan ), baik menyangkut materi atau isi ( matan ), maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan .

B. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits
Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadis-hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut.
Takhrij hadis memberikan manfaat yang sangat banyak sekali. Dengan adanya takhrij kita dapat sampai kepada perbendaharaan-perbendaharaan sunnah Nabi. Tanpa keberadaan takhrij seseorang tidak mungkin akan dapat mengungkapkannya. Diantara kegunaan takhrij adalah :
1. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadis berada beserta Ulama yang meriwayatkannya.
2. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, maka semakin banyak juga perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dhal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shohih, dhoif, dsb.
4. Takhrij memperjelas hukum hadis dengan banyak riwayatnya itu. Terkadang kita dapatkan suatu hadis dho’if melalui satu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan akan kita dapati riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat hukum hadis yang dho’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
5. Dengan takhrij kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum hadis.
6. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar. Karena terkadang kita dapati seorang perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dll. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
8. Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi Mudalis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.
9. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13. Takhrij dapat menghilangkan hukum “Syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwaya tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
14. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilami oleh seorang perawi.
16. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17. Takhrij dapat membedakan antara proses periwiyatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan makna saja.
18. Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadis.
19. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis-hadis ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang. Melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al wurud” dalam hadis tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
20. Takhrij dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandinga-perbandingan sanad yang ada .

C. Sejarah Takhrij Hadits
Para ulama dan peneliti hadis terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrij (Usulul-takhrij), karena pengetahuan mereka sangat luas dan ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber sunnah. Ketika mereka membutuhkan hadis sebagai penguat, dalam waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadis, bahkan juznya. Atau setidaknya mereka dapat mengetahuinya dalam kitan-kitab hadis berdasarkan dugaan yang kuat. Disamping itu, mereka mengetahui sistematika penyusunan kitab-kitab hadis, sehingga mudah bagi mereka untuk mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan hadis. Hal seperti itu juga mudah bagi orang yang membaca hadis pada kitab-kitab selain hadis, karena ia berkemampuan mengetahui sumbernya dan dapat sampai pada tempatnya dengan mudah.
Kedaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama tentang kitab-kitab hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk mengetahui tempat-tempat hadis yang menjadi dasar ilmu syar’i, seperti fikih, tafsir, sejarah, dan sebgainya. Berangkat dari kenyataan inilah, sebagian ulama bangkit untuk membela hadis dengan cara mentakhrijkannya dari kitab-kitab selain hadis, menisbatkannya pada sumber asli, menyebutkan sanad-sanadnya, dan membicarakan keshahihan dan kedha’ifan sebagian atau seluruhnya, maka timbullah kitab-kitab takhrij. Kitab-kitab yang mula-mula dikarang adalah kitab-kitab yang di takhrijkan hadisnya oleh Al-khatib Al-Bagdadi(-463 H). Diantaranya kitab-kitab yang populer adalah: Takhrijul Fawa’idil Muntakhabah As-Shihhah Wal Gara’ib, karya As-syarif Abul Qasim Al-Husaimi; Takhrijul Fawa’idil Muntakhabah As-Shihhah Wal Gara’ib, karya Abul Qasim Al-Mahrawani, yang keduanya masih berupa manuskrip, serta kitab Takhriju Ahadisil Muhazzab, karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi As-Syafi’i, yang wafat tahun 584 H. Sedang kitab Al-Muhazzab, adalah karya Abu Ishaq As-Syirazi.
Setelah itu, kemudian berturut-turut muncul kitab-kitab takhrij, hingga menjadi populer dan banyak sekali jumlahnya sampai berpuluh-puluh kitab. Karena itu, ulama ahli hadis mempunyai perhatian yang besar terhadap kitab-kitab yang telah ditakhrijkan hadisnya dan berikutnya mereka mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap hadis nabi, sehingga tertutuplah kesempatan yang banyak untuk menjelaskan kitab-kitab hadis. Seandainya mereka tidak menempuh usaha yang besar ini, tentu terdapat ketimpangan yang banyak dalam mengembangkan kitab-kitab ilmu syar’i dan dewasa ini kita akan mengalami susah payah untuk mencari sumber-sumber hadis. Semoga Allah senantiasa membalas para ulama salaf yang telah mencurahkan segala upaya demi terciptanya kitab-kitab tersebut, guna semata-mata mencari ridha Allah.
Kemudian datanglah masa yang jauh berbeda dengan masa-masa tersebut, yaitu jika seseorang yang menuntut ilmu menjumpai suatu hadis dalam kitab yang hanya menyebutkan petunjuk singkat terhadap sumber aslinya, maka ia tidak mengetahui cara memperoleh teks hadis tersebut pada sumber aslinya. Hal ini karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang cara penyusunan kitab yang menjadi sumber asli tersebut dan pembagian babnya. Demikian juga, jika ia hendak menguatkan dengan hadis dalam suatu pembahasannya, sedang ia mengetahui bahwa hadis yang dimaksud terdapat dalam shahih bukhari, musnad ahmad atau mustadrak alhakim, maka ia tidak akan mendapatkannya dalam sumber asli, karena mereka tidak mengetahui sistematika penyusunannya .
D. Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits
Mentakhrij matan suatu hadis berarti mengungkap perawi hadis tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentaakhrij suatu hadis hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadis tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya, ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara membandingkan diantara sanad-sanadnya yang ada.
Bila kita dihadapkan upaya mencari hadis dengan sahabat sebagai penerima dari Nabi SAW lebuh dari satu, maka kita harus mencari sahabat yang meriwayatkannya keseluruhan seperti yang diminta. Seperti: suatu hadis diriwayatkan oleh ulama hadis dari dua sahabat (A dan B). Hadis dengan perawinya A dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya, dalam bab ini, jilid sekian, halaman sekian, nomor hadis sekian dan lain-lain dengan menyebutkan nama-nama perawi yang terdapat dalam sanadnya. Adapun hadis dengan perawinya B dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya dan seterusnya seperti diatas.
Dan bila dihadapkan upaya mencari hadis dengan sahabat sebagai penerima dari nabi satu orang, maka cukuplah kita mencarinya pada satu sahabat itu. Namun bila kebetulan mendapatkan sahabat yang lain meriwayatkannya dari Nabi, maka kedudukan hadis itu adalah sebagai syahid terhadap hadis yang kita cari. Kewajiban kita hanyalah meneliti seluk beluk hadis selain yang menjadi syahidnya itu. Akan lebih baik bila disertakan pula hadis syahidnya itu.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadis adalah materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan sahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadis. Memang wajar bila dalam suatu hadis terdapat perbedaan kata dalam matan. Imam Zaila’i berkata: “kewajiban seorang muhaddis hanyalah membahas materi hadis dan meneliti perawi yang mengeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.”
Imam Al-Sakhawi berkata : “Para ahli takhrij tidak berbuat sendiri-sendiri terhadap hadisnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut kitab induk hadis-hadis tersebut dan begitu pula dengan sanad-sanadnya. Setelah menyelesaikan suatu hadis, mereka berterus terang menisbatkannya kepada, katakanlah, Imam bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya, sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua. Yang mereka kehendaki hanyalah materi pokok hadis.”
Al – Hafidz al iraqi dalam pengantar kitabnya berkata : “saya menisbatkan hadis kepada ulama yang mengeluarkannya, bukan kepada perbedaan lafalnya.”
Dan dalam kitabnya yang lain beliau juga berkata : “sengaja saya menisbatkan hadis kepada ulama yang mengeluarkan hadis tersebut, karena saya inginkan adalah materi hadis tersebut dan bukan lafal hadis itu sendiri menurut ketentuan-ketentuan mustakhraj.”
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa takhrij mengenalkan kitab-kitab induk hadis dengan segala seluk beluk hadis tersebut berikut metode-metode yang dipakainya. Akan lebih baik lagi bila ini dilakukan dihadapan guru-guru yang berpengalaman. Hal ini menambah kemudahan – kemudahan mencapai tujuan.
Materi-materi keislaman diantaranya bersumber kepada sunnah Nabi. Untuk mencari suatu hadis mengharuskan penggunaanilmu takhrij. Dengan ilmu takhrij ini kita akan lebih tahu kitab-kitab terdapatnya hadis-hadis yang menjadi bahasannya .
Takhrij tidaklah terbatas pada matan hadis, akan tetapi mencakup:
1. Mentakhrij matan hadis dari berbagai kitab induknya.
2. Mentakhrij sanad-sanad hadis beserta biografi dan penilaian terhadap perawi.
3. Mentakhrij lafal-lafal yang asing melalui kitab-kitab yang berhubungan dengan itu.
4. Mentakhrij lokasi kejadian dalam hadis melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu.
5. Mentakhrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bidangnya.

E. Metode Takhrij Hadits
Secara garis besar, ada dua cara mentakhrij hadis dengan menggunakan kitab-kitab. Adapun dua macam cara takhrijul hadis yaitu :
1. Metode Takhrij hadis menurut Lafadh pertama
Metode Takhrij hadis menurut Lafadh pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafazh pertama matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfebitis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadis yang dimaksud.
Adapun kitab yang menggunakan metode ini, diantaranya kitab Al-Jami’ As-Shagir fi Ahadits Al-Basyir An-Nazir, yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadhil Abd Ar-Rohman Ibn Abi Bakar Muhammad Al-Khudri As-Suyuti. Dalam ini, hadis-hadis disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah sehingga pencarian hadis yang dimaksud sangat mudah. Juga didalamnya dimuat petunjuk para mutakhrij hadis yang bersangkutan (dalam mashdar al-ashli) dan pernyataan kualitas hadis yang bersangkutan.
Contohnya hadis Nabi berikut ini,
الشد يد با الصر عة ليس
Untuk mengetahui lafazh lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri panggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafazh yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah,
عن ا بي هر يرة ان رسو ل الله صلي الله عليه وسلم قال: ليس الشديد با لصرعة انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب
"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulluah SAW. Bersabda: (ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah.”
Bila hadis itu dikutip dalam karya tulis ilmiah, sesudah lafazh matan dan nama sahabat periwayat hadis yang bersangkutan ditulis, nama Imam Muslim disertakan. Biasanya kalimat yang di pakai adalah,
رواه مسلم
Nama sahabat periwayat hadis dalam contoh diatas adalah abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. Kalimat yang dipakai adalah,
روا ه مسلم عن ابي هريرة
Dalam kitab Shahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagaimana lazimnya.
2. Metode Takhrij menurut Lafazh-Lafazh yang terdapat dalam Hadis
Metode takhrij hadis menurut lafazh yang terdapat dalam hadis, yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapatdalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazh Al-Hadis An-Nabawi, yang disusun oleh A.J. Wensink dan kawan-kawan, yang kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqi. Kitab yang menjadi rujukan kitab kamus tersebut adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ad-Darimi, Muawatha Imam Malik, dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
Contohnya hadis berikut ini.
عن علي ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: رفع القلم عن ثلا ثة: عن النائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يشب وعن المعتو حتي يعقل
Dalam mencari hadis tersebut, kita bisa menggunakan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazh Al-Hadits An-Nabawi, berdasarkan kata kunci رفع , القلم ,dan ثلا ثة.
Kata رفع dicari pada juz yang memuat huruf awal (dalam hal ini juz II), kata القلم dicari pada juz yang memuat huruf qaf (dalam hal ini juz V), dan kata ثلا ثة dicari pada juz yang memuat huruf tsa (dalam hal ini juz I).
Setelah masing-masing juz diperikasa, yakni untuk tiap-tiap penggalan matan yang dimaksud, data yang disajikan oleh kitab-kitab Al-Mu’jam Al-Mufahros li Al-fadz Al-Hadis An Nabawi, adalah sebagai berikut.
Juz Hlm. Lambang yang Dikemukakan
I 298 د حدود 17
II 280 خ حدود 22 ,طلا ق 11 ,د حدود 17
V 465 خ حدود 22 ,طلا ق 11 ,د 17 ,ت حدود
د حدود 17
ن طلاق 21,جه طلا ق 15,دي حدود 1
1002, 116, 118, 140, 155, 158, 1 حم

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa informasi yang diperoleh lewat penelusuran kata القلم , yang dimuat dalam juz V, ternyata lebih banyak lagi daripada yang berasal dari juz I dan juz II.

F. Langkah-Langkah Praktis Penelitian Hadits
Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan penelitian matan.
1. Penelitian Sanad dan Rawi Hadis
a) Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij
b) Itibar, yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis-hadis tertentu, dan hadis tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi yang lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.
Langkah ini tidak dapat ditinggalkan sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian terhadap karakteristik setiap rawi, perlu diketahui terlebih dahulu rangkaian para perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan dengan membuat skema sanad.
c) Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad (penelitian asma ar-ruwat). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama secara lengkap yang mencakup nama, nisbat, kunyah, dan laqab setiap rawi dalam kitab-kitab Rijal al-hadis, seperti kitab Tahdzib At-tahdzib.
d) Meneliti tarikh ar-ruwat, yaitu meneliti al-masyayikh wa al-talamidz (guru dan murid) dan al-mawalid wa al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini dapat diketahui bersambung atau tidaknya sanad.
e) Meniliti al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya (keadilan dan ke-dhabit-an).
2. Penelitian matan
Sebagai langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui kemungkinan adanya illat dan syudzudz padanya. Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadis, baik teknik pelaksanaannya maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil analisis matannya daripada penelitian sanad.
Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang bersangkutan dengan tema matan hadis, memahami isi Al-Qur’an, baik tekstual maupun kontekstual, memahami prinsip-prinsip ajaran islam, mengetahui metode istinbath, dan sebagainya .
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
At-Tahhan, Mahmud.1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis. Terj Ridlwan Nasir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Mahdi, Abu Muhammad Abdul. 1994. Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama.



Selengkapnya...

Konstitusi Di Indonesia

 Pengertian Konstitusi
Kostitusi merupakan naskah dasar sebagai kaidah fundamental negara. Istilah konstitusi berasal dari bahas Perancis constituer yang berarti membentuk, yaitu membentuk, menyusun, atau menyatakan suatu negara, konstitusi diartikan peraturan dasar tentang pembentukan suatu negara, atau Undang-Undang Dasar.
Dalam kamus bahasa Indonesia istilah konstitusi berarti segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan atau berarti juga undang-undang dasar suatu negara. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi dikenal dengan grondwet ( grond = dasar, wet = undang-undang ) yang berarti undang-undang dasar.
Dalam bahasa Inggris dikenal istilah constitution yang diartikan sebagai undang-undang dasar yaitu seluruh peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Secara terminologis konstitusi adalah sekumpulan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan dasar yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk juga dasar hubungan antara negara dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup Konstitusi
Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara.
Tujuan adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan tiga tujuan ( Dede Rosyada (dkk), 2003 ) , yaitu :
• Konstitusi bertujuan memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik .
• Konstitusi bertujuan untuk mengawasi atau mengontrol proses-proses kekuasaan dari penguasa.
• Konstitusi bertujuan memberi batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Jadi konstitusi berfungsi sebagai pengontrol penguasa sekaligus sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara yang sesuai dengan nilai-nilai dan kaedah negara yang termuat dalam dasar negara.
Ruang lingkup isi UUD sebagai konstitusi dikemukakan oleh A.A.H Struycken memuat tentang:
1. Hasil perjuangan poitik di masa lampau
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun masa yang akan datang
4. Suatu kenginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin
Menurut Sri Soemarni dengan mengutip pendapat Steenbeck menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu: jaminan HAM, susunan kenegaraan yang bersifat mendasar , dan pembagian dan pembatasan kekuasaan.
 Sejarah Konstitusi dan Perkembangannya
Konstitusi telah lama dikenal yaitu sejak jaman bangsa Yunani yang memiliki beberapa kumpulan hukum ( semacam kitab hukum pada tahun 624-404 SM ). Athena pernah memiliki tidak kurang dari 11 konstitusi.
Pada masa kaisaran Roma pengertian konstitusi mengalami perubahan makna. Adalah merupakan suatu kumpulan ketentuan secara peraturan yang di buat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat para ahli hukum, negarawan serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan yang memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham demokrasi perwakilan dan nasionalisme. Dua paham inilah yang merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusinalisme modern.
Pada abad ke VII ( Zaman Klasik ) lahirlah piagam madinah atau konstitusi madinah, yaitu merupakan pokok tata kehidupan bersama di madinah yang dihuni oleh bermacam-macam kelompok dan golongan. Konstitusi Madinah berisikan hak bebas berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban bermasyarakat dan juga mengatur kepentingan umum.
Pada paruh abad ke XVII, kaum bangsawan inggris yang menang revolusi istana ( The Glorious Revolution ) telahh mengakhiri absolutisme dan menggantikannya dengan sistem parlementer sebagai pemegang kekuasaan, akhir revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni inggris pada 1776, dengan menetapkan konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.
Tahun 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Instabilitas sosial di Perancis munculnya perlunya konstitusi. Maka pada pada tanggal 14 Septembar 1791 tercatat konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI, karena deklarasi inilah yang mengilhami konstitusi Perancis (1791) khususnya yang menyangkut hak asai manusia. Setelah peristiwa ini, maka muncul konstitusi dalam bentuk tertulis yang di pelopori oleh Amerika.
Konstitusi sebagai UUD atau sering disebut Konstitusi Modern baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat undang-undang untuk mengurangi dan membatasi dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai dasar hukum yang posisinya lebih tinggi dari para raja.
 Sejarah Lahir dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan UUD 1945, yang dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang di sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesi (PPKI).
Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua, tanggal 10-17 Juli 1945. Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. KNIP merupakan pengganti MPR sementara karena belum adanya Pemilu untuk memilih MPR dan DPR.
Dalam perjalanan sejarah konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama maupun substansi materi yang dikandungnya. Perjalanan konstitusi Indonesia, yaitu :
1. UUD 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) masa berlakunya 27 Desember – 17 Agustus 1950.
3. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950, masa berlakunya 17 Agustus 1945 – 5 Juli 1959.
4. UUD 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia dengan masa berlaku sejak di keluarkannya dekrit Presiden 1959 – sekarang.

 Amandemen UUD 1945
Terdapat dua perubahan model konstitusi, yaitu : Renewel ( pembaharuan) dan Amandemen (perubahan). Renewel adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan, sedangkan Amandemen adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi diubah, konstitusi yang asli tetap berlaku.
Menurut Miriam Budiharjo ada 4 prosedur perubahan konstitusi baik secara renewel dan amandemen :
1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat.
2. Referendum.
3. Negara-negara bagian dalam negara federal. (contoh Amerika Serikat : ¾ dari limapuluh negara bagian harus menyetujui).
4. Musyawarah khusus.
Menurut K.C. Wheare dalam melakukan perubahan UUD hendaklah diperlukan hal-hal sebagai berikut:
1. Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
2. Agar jika dilakukan di negara serikat. Kekuasaan negara serikat dan kekuaasan negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
3. Agar hak-hak perseorangan atau kelompok mendapat jaminan.
Dalam perubahan keempat UUD 1945 diatur tentang tata cara perubahan undang-undang. Bersandar pada pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa:
1. Usul pasal perubahan UUD dapat di agendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah MPR.
2. Setiap usul perubahan pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Usul mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4. Putusan untuk mengubah pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
Dilakukan amandemen UUD 1945 karena pelaksanaan konstitusi jauh dari paham konstitusi itu sendiri. Hasil kajian tim amandemen Fakultas Unibraw yang melihat kelemahan dari beberapa konstitusi UUD 1945 antara lain : UUD 1945 memposisikan kekuasaan presiden begitu besar, sistem chek and balance tidak diatur secara tegasdi dalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak yang tidak jelas dan multi tafsir, dll. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, telah terjadi perubahan UUD negara Indonesia, yaitu:
1. UUD 1945 ( 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 )
2. Konstitusi RIS ( 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 )
3. UUDS Republik Indonesia 1950 ( 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 )
4. UUD 1945 ( 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 )
5. UUD 1945 dan perubahan 1 ( 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000 )
6. UUD 1945 dan perubahan 1 dan 2 ( 18 Agustus 2000 – 9 November 2001 )
7. UUD 1945 dan perubahan 1,2, dan 3 ( 9 November 2001 – 10 Agustus 2002 )
8. UUD 1945 dan perubahan 1,2,3, dan 4 ( 10 Agustus 2002 – sekarang )
 Lembaga Kenegaraan Sesudah Amandemen UUD 1945
1. Lembaga Legislatif
Tugas DPR adalah membentuk UU yang dibahas oleh presiden untuk mendapat persetujuan bersama, membahas dan memberikan persetujuan Peraturan PerPU dan lain sebagainya.
DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan wakil-wakil daerah propinsi.
MPR berwenang mengubah & menetapkan UUD; melantik Presiden/wakilnya
2. Lembaga Eksekutif
Presiden sebagai simbol resmi negara dan juga sebagai kepala pemerintahan, yang dibantu menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.
3. Lembaga Yudikatif
Kekuasaan yudikatif ada pada kekuasaan kehakiman yang terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
4. Lembaga Inspektif
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiardjo, Prof.Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tanpa Pengarang.2010. 3UUD Republik Indonesia. Tanpa Kota: Rhed Publisher.
Kusumaningrum, Arika dkk . 2009. Makalah Konstitusi dan Tata Perundang-Undangan Dalam Kehidupan Kenegaraan . Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.



Selengkapnya...

Senin, 16 Mei 2011

BEBERAPA ILMU PENUNJANG ILMU HUKUM

ANTROPOLOGI HUKUM
Antropologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana, maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dalam pembangunan. Antropologi dipelajari tidak hanya semacam jenis manusia, tetapi semua aspek dari pengalaman manusia. Studi antropologi hukum nampaknya terletak pada sifat pengamatan dan penyelidikan secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian ia melihat hukum tidak secara statis, melainkan dinamis.
Sejarah singkat
Studi antropologi hukum dapat dikatakan belum lama dan baru timbul pada abad ke-19, sewaktu ada usaha-usaha penelitian dasar-dasar hukum di Eropa dengan membandingkan system hukum Eropa dengan system hukum masyarakat yang masih sederhana di luar Eropa. Hasilnya, disimpulkan atau timbul manggapan bahwa system hukum Eropa merupakan system hukum yang sempurna dan telah mencapai tingkat tertinggi. Hasil penelitian tersebut merupakan deskripsi perkembangan hukum serta kebudayaan umat manusia, dan penelitian termasuk pengembangan cabang ilmu tersebut yang dikenal dengan sebutan Etnological Jurisprudence.
Kemudian baru pada awal abad ke-20 mulai timbul banyak perhatian terhadap hukum yang ditandai dengan terbitnya buku-buku seperti :
1. Baton, R. F. Ifugo Law. Berkelay : University of California Press, 1919
2. Rattray, R. S. Ashtanti Law and Constitutional. Oxford. 1929
3. Malinowski, B. Crime and Custom in Savage Society. London : Rontledge & Kegan Paul, ltd. 1949
Soerjono Soekanto dalam bukunya “Mengenal Antropologi Hukum” (1982 :30) menyatakan : Tulisan-tulisan tersebut kebanyakan merupakan deskripi tentang masyarakat-masyarakat sederhana di Afrika, Amerika (utara) dan Oceania.
Antropologi dan Hukum
Ilmu antropologi mengekspresikan kehidupan manusia dalam loyalitasnya, sehingga segala segi kehidupan dibicarakan. Antropolog akan menghadapi banyak kesulitan dalam memasahkan definisi-definisi tentang hukum seperti yang kita kenal dalam ilmu hukum positif. Bagi mereka, hukum harus diartikan lebih dri sekedar peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga pelaksana hukum yang formal
Pada dasarnya, studi antropologi terhadap hukum didasarkan pada premis-premis sebagai berikut :
1. Hukum atau system hukum suatu masyarakat harus diselidiki dalam konteks system-sistem politik, ekonomi dan agamanya, juga dalam kerangka struktur social dari hubungan-hubungan antar orang dan kelompok
2. Hukum paling baik dipelajari melalui analisis terhadap prosedur-prosedur yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa, atau dalam perspektif yang lebih luas, melalui manajemen politik
3. Pada gilirannya, prosedur-prosedur akan menjadi penting manakala penelitian dipusatkan pada sengketa sebagai unit deskripsi, analisis dan perbandingan
Maka sebagaimana telah dikemukakan, antropologi hukum memperhatikan dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam masyarakat. Dengan demikian, ia melihat hukum tidak secara statis melainkan dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang, secara berkesinambungan.
SOSIOLOGI HUKUM
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum, misalnya dalam pembuatan undang-undang, praktek peradilan, advokat, dan sebagainya. Obyek sasaran studi yang penting dalam sosiologi hukum, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan Pengorganisasian Sosial dari hukum.
Obyek Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum di antaranya mempelajari “pengorganisasian sosiologi dari hukum”. Obyek sasarannya adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan hukum, seperti pembuat undang-undang, pengadilan, polisi, advokat, dan sebagainya. Untuk mengetahui bagaimana sikap sosiologi terhadap bidang-bidang yang dipelajari, maka bentuk pertanyaanlah yang memudahkannya, seperti yang diajukan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dalam bukunya “ilmu hukum”(1982)
a. Sosiologi hukum perundang-undangan akan mengajukan prtanyaan-pertanyaan yang berbeda dengan studi hukum normative, melainkan diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang karakteristik, misalnya :
- Seberapa besar efektifitas daripada peraturan hukum tertentu
- Faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas peraturan hukum tertentu
- Apa sebabnya orang taat kepada hukum
- Golongan manakah yang diuntungkan dan dirugikan oleh undang-undang yang dikeluarkan
- Sampai sejauh manakah kebenaran undang-undang melindungi buruh da sebagainya
b. Bagi pengadilan, pertanyaan-pertanyaan yang dapat timbul seperti :
- Apakah dampak-dampak dari keputusan Pengadilan Negeri itu terhadap masyarakat?
Sosiologi hukum senantiasa berusaha untuk menemukan alasan-alasan dan latar belakang keputusan dengan cara memisahkan pengadilan sebagai badan yudikatif dengan hakim sebagai manusia dengan segala tingkah lakunya. Asal-usul para hakim, pendidikan, pergaulan, dianggap sebagai faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadap jabatan mereka
c. Dilihat dari sosiologi hukum, polisi adalah sekaligus hakim, jaksa, dan bahkan juga menjadi pembuat undang-undang (Satjipto Rahardjo 1982 : 298). Satjipto Rahardjo menjelaskan :
Dalam diri polisi, hukum secara langsung dihadapkan kepada rakyat. Dalam kedudukan ini, ia bisa menjadi hakim dan sebagainya, sekalipun hanya dalam garis-garis besarnya saja. Pekerjaan polisi adalah melayani masyarakat, tetapi dengan cara mendisiplinkan masyarakat. Dua hal yang bertentangan satu sama lain. Oleh karena adanya konflik dalam pekerjaan polisi itulah bidang ini menjadi bahan garapan yang sangat subur bagi sosiologi hukum
d. Bidang advokat atau kepengacaraan merupakan bidang yang menarik bagi sosiologi hukum. Advokat dapat mempunyai dwifungsi, di satu pihak berpegang pada idealismenya sebagai pejuang hukum untuk keadilan bagi kliennya, di lain pihak sebagai seorang pengusaha menjalankan kepengacaraannya secara komersil.
Bagaimanapun juga, sosiologi hukum memverifikasikan pola-pola hukum yang telah dikukuhkan dalam bentuk-bentuk formal tertentu, ke dalam tingkah laku orang-orang yang menjalankannya. Tingkah laku yang nyata inilah yang ingin diketahui oleh soiologi hukum dan bukannya rumusan normatif formal dari hukum dan yang diambil dari dunia penyelenggaraan hukum, sekedar sebagai peragaan tentang bagaimana orang memandang hukum dan menggarapnya dari sudut ilmu tersebut.

PSIKOLOGI HUKUM
Psikologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia, dalam kaitannya dengan studi hukum, ia melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia, salah satu yang ada pada hukum itu mengenai penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkaitan dengan psikologi, seperti peranan sangsi pidana terhadap kriminalitas dan sebagainya.
Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazycki (1867-1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses psikis yang unik, yang tepat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semjua itu bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturanp-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. Petrazycki memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam fikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial (Soedjono Dirdjosisworo 1983 :57)
Selain Leon Petrazycki masih ada beberapa sarjana atau penulis lain yang membicarakan dan mengupas masalah psikologi hukum, di antaranya adalah Jerome Frank dalam bukunya “Law and the Modern Mind (1930)” yang sangat terkenal bahkan ada yang menamakan suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum. Frank mengupas apa yang disebutnya sebagai sesuatu “mitos dasar”dalam hukum. Sebagai seorang hakim, Frank melihat bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Dan pada umuumnya, orang akan selalu mengharapkan bahwa hukum bisa memberikan kepastian yang berlebihan. Menurrut Frank masalah ini tentunya tidak akan berakhir pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal)
Dalam usahanya untuk menjawab masalah di atas, frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini, ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kecenderungan (hanker) kepada pengganti sang ayah (Satjipto Rahardjo 1982 : 319).

SEJARAH HUKUM
Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. Dalam studi sejarah hukum ditekankan mengenai hukum suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karena itu yang satu berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan ini teletak pada ciri khas pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Menyelidiki sistem-sistem hukum yang penah berlaku dan berkembang pada masa lalu, sehingga dapat mengerti sistem hukum yang berlaku sekarang, sebab bagaimanapun sistem hukum yang berlaku sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada sistem hukum yang berlaku pada masa lampau.
Peranan dan Fungsi Sejarah Hukum
Di antara kegunaannya (Soerjono Soekanto 1983 : 40) :
1. memberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum. Hukum tidak akan mungkin berdiri sendiri, karena senantiasa dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan yang lain, dan juga mempengaruhinya. Hukum masa kini merupakan hasil perkembangan hukum masa lampau, dan merupakan dasar bagi hukum di masa yang akan datang
2. hukum sebagai kaidah perikelakuan atau sikap tindak yang sepantasnya, merupakan hasil dari perkembangan pengalaman manusia semenjak dahulu kala, sehingga diperlukan sejarah untuk mengungkapnya. Tanpa sejarah, tidak akan dapat dimengerti mengapa pasal 293 dan 534 KUHP misalnya berbunyi demikian, sehingga oleh sementara kalangan dianggap bertentangan dengan program keluarga berencana
3. sejarah hukum sangat penting untuk mengadakan penafsiran secara historikal terhadap peraturan-peraturan tertentu
4. dalam bidang akademik, mahasiswa akan sangat terbantu dalam memahami hukum yang dipelajarinya. Untuk penelitian hukum; sejarahb hukum juga berguna, terutama untuk mengungkapkan kebenaran dalam kaitannya dengan masa lampau dan masa kini
5. sejarah hukum dapat mengungkapkan fungsi dan efektivitas lembaga-lembaga hukum tertentu berdasarkan pengalaman di masa lalu

PERBANDINGAN HUKUM
Perbandingan Hukum adalah suatu metode studi hukum, yang mempelajari perbadaan sistem hukum antar negara yang satu dengan yang lainnya. Dengan memperbandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan sistem hukum positif banngsa lain. Perbandingan hukum, yang menyelidiki persamaan dan perbedaan unsur-unsur dari dua atau lebih sistem hukum, baik sistem hukum yang berlaku dalam dua waktu yang berbeda atau pun dua tempat yang berbeda. Menurut (Sudarto, 1981), bahwa perbandingan hukum bukanlah suatu perngkat dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum, melainkan suatu cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum. Dimana ada hukum, selalu dimanapun dapat ditemukan.

Tujuan daripada Perbadingan Hukum
Kenyataan menunjukkan bahwa tiap negara mempunyai kebudayaan dan hukumnya sendiri yang berbeda-beda dengan hukum dan kebudayaan negara lainnya, misalnya hukum hukum Anglo Saxon berbeda dengan hukum Continental, berbsda pula dengan hukum-hukum negara sosialis, bahkan hukum menurut BW yang berlaku di Indonesiaberbeda juga dengan hukum adaty kita. Untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dan untuk mengetahui sebab-sebabnhya, perbandingan hukum mempunyai peranan yang sangat penting.
Menurut tujuan perbandingan hukum belum ada kesepakatan antara para ahli, misalnya Main dalam bukunya “Village Communities” dan Pollack dalam bukunya “ The history of Comparative Jerisprudence” mengatakan bahwa tujuan perbandingan hukum adalah membantu menelusuri asal-usul perkembangan daripada konsepsi hukum yang sama di seluruh dunia, sedangkan Randall mengatakan bahwa tujuan dari perbandingan hukum adalah :
a. usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hukum asing
b. usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing dalam rangka pembaruan hukum
Di samping itu, dala kongres ilmu pengetahuan hukum tahun 1900, muncullah gagasan bahwa tujuan daripada perbandingan hukum adalah untuk tercapainya perundang-undangan yang bersifat umum.
Kalau ditelaah lebih lanjut, maka sebenarnya tujuan perbandingan hukum tidak semata-mata untuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan daripada hukum yang kita bandingakn, tetapi yang penting ialah untuk mengetahui sebab-0sebab dan latar belakang daripada perbedaan dan persamaan tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
Soeroso, R., S. H. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta :Sinar Grafika
Selengkapnya...

PERKEMBANGAN POLITIK DARI MASA KE MASA

1. YUNANI KUNO
Jika pemikiran tentang politik, negara, dan hukum tidak mendahului pembentukan peradaban-peradaban, tetapi merupakan sesuatu gejala sosial yang baru menampakkan diri setelah berabad-abad lamanya ada peradaban yang tinggi, pemikiran itu akan ditemui sumbernya di tempat hubungan-hubungan politik dan ketatanegaraan memberi kemungkinan dan alasan untuk itu. Memang sangat penting bagi negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan kekuasaan secara kritis, sedangkan selain itu sikap demikian rupa terhadap kehidupan negara dan masyarakat harus tampak pula pada rakyat negara itu.
Situasi yang demikian tentu merupakan suatu perkembangan masyarakat yang baru dalam sejarah. Itulah yang terjadi di era Yunani Kuno, tepatnya yang teradi di Athena. Mulai abad ke-5 SM, kesadaran bermasyarakat semacam itu mula-mula dimulai oleh berbagai faktor dan kejadian, misalnya sifat agama disana yang tidak mengenal ajaran Tuhan yang ditetapkan sebagai kaidah hukum yang terlalu sakral. Juga, ada faktor sosio-historis, misalnya , keadaan geografis negeri yang membuatnya mengarah kepada perdagangan dan kolonisasi, yang membuat bangsa Yuanani bertemu dengan negeri-negeri disebelah Timur yang bentuk negaranya berbentuk republik. Kesadaran bangsa Yunani sebagai kesatuan, yang disebabkan oleh peperangannya yang menang dengan bangsa Persia, seiring dengan terpecah-pecahnya menjadi negara-negara kecil dan individualisme.
Setelah bangsa Yunani berhasil mempertahankan diri terhadap serangan bangsa Persia, ia menganggap telah bisa menyelamatkan kebangsaan dan kemerdekaannya, kepribadainnya, dan setelah itu datanglah masa keemasan yang ditandai dengan berbagai perkembangan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Yunani pun segera mengelami titik baliknya, muncul pertanyaan tentang kehidupan yang akan menentukan masa yang akan datang.
Tradisi berfikir filsufis telah lama terjadi. Milite, salah satu Koloni Yunani, adalah tempat lahirnya filsafat. Awalnya, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan filsafat kosmologis, tentang bangun dan susunan alam semesta. Setelah meninggalnya Pericles pada 429 SM, di Athena mulai muncul filsafat yang radikal, dan demokrasi mulai menjadi masalah banyak orang yang membutuhkan pemecahan bersama. Dari sinilah mulai muncul para filsuf besar. Para pemuda menginginkan jawaban-jawaban bijak tentang masyarakat dan negara, dan mereka mendatangi orang-orang yang dianggap bijak.
Awalnya, pemikiran di dominasi oleh kaum sofis, yaitu kaum yang menawarkan jasa-jasa bagi orang yang ingin mendengarkan mereka dan mereka diberi imbalan yang layak. Lambat laun, keberadaan mereka tidak begitu disukai, terutama setelah muncul filsuf yang berusaha mencari pedoman-pedoman lebih baik, pedoman-pedoman tentang masa depan pemerintahan negara. Dengan munculnya Socrates yang juga sering bertukar pikiran dengan kaum sofis, mulailah perkembangan pikiran kemasyarakatan dengan Yunani.
Demokrasi mencapai puncak perkembangannya di Athena selama abad ke-5 SM. Unit pemerintahan yang dikenal pada saat itu adalah apa yang dalam sejarah politik disebut sebagai “negara kota” atau “polis”, sebuah bentuk organisasi politik yang unik dan tak ada padanannya di masa modern. Di Yunani ada ratusan polis dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan. Akan tetapi, yang paling dikenal karena kemajuannya adalah Athena, sebuah polis tempat intelektualisme mencapai puncaknya yang sangat tinggi, dan bidang pengajaran juga memiliki kekuatan sosial dan politik.
Athena merupakan kota kecil, secara corak produksi dapat dikatakan sebagai kombinasi antara daerah industri dan pertanian. Terdapat wilayah urban yang dikelilingi tembok dan ada wilayah pinggiran pedesaan yang terletak di luarnya yang terdiri dari kebun anggur, padang rumput, dan ladang. Negara kota ini merupakan entitas yang secara hukum independen dari kekuasaan pemerintahan superior manapun. Ia memiliki konstitusi sendiri, dan melaksanakan hubungan luar negeri sendiri.
Negara kota menjadi bentuk masyarakat politik yang akrab karena seluruh warga negara memainkan peran yang langsung dan komprehensif dalam pemerintahan persemakmuran. Setiap individu mempunyai ”rasa memiliki” kota tersebut, menjadi mitra bukan subjek baginya. Orang-orang Yunani secara umum sepakat bahwa kehidupan yang benar-benar berperadaban hanya bisa berlangsung dalam hubungannya dengan polis. Sebab, kotalah yang menjadi jantung dan inspirasi bagi prestasi mereka dalam bidang sastra, seni, filsafat, dan dalam pengembangan kehidupan yang baik.
Tokoh-tokoh politk pada masa ini, yaitu:
a) Socrates (470-399 SM)
b) Plato (429-347 SM)
c) Aristoteles (384-322 SM)
d) Epicurus (sekitar 300 SM)

2. ROMAWI KUNO
Peradaban romawi dimulai dari puncak dan lembah tujuh bukit di sebelahnya sungai Tiber. Romulus, seorang keturunan Aeneas pada 753 SM, merupakan nenek moyang mereka. Sejak berdirinya hingga tahun 509 SM, daerah itu dikuasai oleh berbagai kerajaan. Setelahnya hingga tahun 27 SM Roma menjadi berbentuk republik, dan sejak tahun 27 SM hingga masa keruntuhannya diperintah oleh berbagai kaisar.
Dalam sejarah pemikiran politik, Romawi dapat dikatakan membawa gagasan yang merupakan transisi dari era Yunani Kuno menuju pemikiran Eropa Barat Era Modern. Periode Romawi dikenal bukan karena teori politiknya, tetapi karena hukumnya, dan dalam hal tertentu juga karena adminstrasinya. Di bidang inilah Romawi meninggalkan warisannya pada barat.
Tokoh-tokoh politk pada masa ini, yaitu:
a) Cicero (106-43 SM)
b) Seneca (4-65 SM)

3. ZAMAN PERTENGAHAN
Meskipun mendapat legitimasi dan dasar yuridis (hukum) yang kuat, Kerajaan Romawi pada akhirnya juga jatuh dalam keadaan yang bobrok dan lemah. Pemerintahan daerah (provinsi) menjadi demoral dan hanya memikirkan kepentingannya serta sangat korup.
Di kota-kota Romawi juga banyak kedatangan kaum miskin dan para gembel yang menimbulkan berbagai macam kerusuhan sekaligus perlawanan. Pada ranah pemikiran, permulaan abad Masehi diwarnai dengan situasi serba putus harapan. Para kaisarpun juga kian despotik.
Sebuah kekuatan filsafat keagamaan lahir dari wilayah timur yang kemudia dikenal sebagai agama Kristen. Gerakan ini lahir diwilayah terpencil yang terpinggirkan. Kelahiran Yesus dan pertumbuhannya yang bersahaja menghipnotis orang-orang Romawi. Pengikut Yesus dari Nasareth semakin banyak pengikutnya, membawa agama baru bagi kerajaan, juga menyebarkan kesadaran baru, pemahaman baru, dan harapan baru akan pengampunan. Dengan cepat, ajaran Kristen merasuki masyarakat, yang belakangan juga menjadi darah bagi peradaban Barat.
Mulai abad ke-4, agama Kristen bahkan menjadi agama bagi kelas sosial yang paling berpengaruh di kerajaan. Dengan ajaran toleransi yang diundangkan oleh Constantine pada 313, agama ini mendapat pengakuan resmi. Kemudian, setelah paganisme dibatasi secara ilegal, agama Kristen menjadi agama resmi dan eksklusif kerajaan. Bentuk masyarakat agama dan masyarakat politik berdiri sejajar, berdiri dalam wilayah hukum yang sama.
Kedudukan agama Kristen mulai mendapatkan institusionalisasinya dalam masyarakat dan negara. Jika sebelumnya orang Kristen beribadah secara sembunyi-sembunyi, kini merasa bebas mendirikan gereja dan melakukan ibadah secara merdeka. Pengaruhnya pada seni patung, arsitektur, dan budaya juga mulai menguata. Di wilayah Timur juga timbullah berbagai biara. Ketika Theodosius (379-395) telah meresmikan gereja negara, para uskup pun menjadi pegawai-pegawai negeri dari Kekaisaran Romawi. Agama yang awalnya dianut oleh orang-orang miskin dan orang-orang buangan ini, akhirnya menjadi agama orang-orang bangsawan dan pejabat-pejabat terkemuka.
Maka, bisa kita bayangkan sifat agama yang telah mendapatkan kekuasaan politik. Gereja berubah sifatnya dengan perantaraan negara. Sikap sabar dan tenggang rasa kaum Kristen dulu menjadi tidak sabar, yang memajukan agama Katholik didalam dan bersama dengan negara, yang akan membasmi semua sekte yang dianggap mempunyai pendirian “menyimpang” alias tak sama dengan kepercayaannya. Itu adalah wajah agama politik.
Tokoh-tokoh politk pada masa ini, yaitu:
a) St. Agustine (334-430)
b) Thomas Aquinas (1225-1274)

4. ZAMAN MODERN
Jika dulunya sikap menerima dan pasrah dianggap sebagai kebajikan tertinggi, masa sekarang prestasi perseorangan yang tak dapat dilakukan orang lain mendapat pujian dan mendorong lainnya untuk maju. Doktrin-doktrin gereja yang irasional mulai mendapatkan pertentangan-pertentangan. Bahkan, dikalangan kaum gereja.
Kisah tentang Leon Battista Alberti mungkin bisa menggambarkan sikap pikiran yang telah berubah. Saat orang Zaman Pertengahan merasa dirinya harus tunduk dimuka altar gereja dan menyerahkan diri pada pikiran-pikiran kristen, di Gereja Florence Alberti malah berfikir seperti ini : apakah mungkin seorang manusia melemparkan sebuah mata uang begitu keras ke atas sehingga mengenai puncak kubah gereja itu? Ketika pikiran itu dilakukan dalam perbuatan dan ia telah berhasil melakukannya, kejadian tersebut begitu menakjubkan orang sehingga peristiwa itu menjadi cerita turun-temurun.
Era pencerahan (Renaissance) begitulah banyak orang menyebutnya. Jika dilihat pada kalender, banyak yang mengatakan bahwa era ini terjadi mulai abad ke-14 hingga ke-16. Tentunya, tak ada perkembangan pemikiran yang tak disebabkan oleh dinamika material-ekonomi. Era tersebut merupakan era transisi dari masyarakat pertanian murni menuju sistem komersial kapitalis. Uang logam sebagai pengganti barter mulai digunakan dan inilah yang memepercepat perdagangan.
Ciri-ciri lainnya adalah sebagai berikut:
• Muncul kelas pedagang, kelas borjuis, yang jumlahnya kian bertambah banyak lama-kelamaan menjadi pilar bagi perekenomian yang nantinya mengarah pada industrialisasi.
• Munculnya penemuan-penemuan baru dan datangnya teknologi-teknologi baru seperti impor kompas dari Timur, mesin cetak yang bisa dipindah, bubuk mesiu, penemuan sistem matahari, serta sirkulasi darah. Pengetahuan tentang geografi juga muncul, terutama akibat perjalanan mengelilingi bumi oleh Vasco da Gama, Columbus, dan Magellan.
• Minat ke arah intelektual dan budaya kian meningkat, kelas menengah keranjingan untuk berfikir, berkesenian, dan meminati sastra. Minat pada etika, metafisika, dan teologi (Kristen) kian berkurang .
• Karenanya, legitimasi dan dominasi gereja mulai berkurang bahkan ada yang sangat tidak menyukai campur tangan gereja terhadap politik dan urusan negara. Disinalah paham sekularisme muncul keinginan untuk memisahkan urusan agama dari masalah negara atau politik. Orang lebih menyukai pengetahuan dan kebebasan berekspresi daripada cara berfikir yang terrkekang. Jadi, ini adalah era lahirnya humanisme. Dalam bahasa Prof Hallowell, keterampilan yang sebelumnya diarahkan pada pembangunan katedral-katedral megah yang menjadi simnbol kejayaan Tuhan, sekarang dirahkan pada pemujaan kepada manusia.
Tokoh-tokoh politk pada masa ini, yaitu:
a) Martin Luther
b) Jhon Calvin (1509-1564)
c) Monarchomachs
d) Niccolo Machiavelli (1469-1527)
e) Jean Bodin (1530-1596)
f) Hugo Grotius (1583-1645)
g) Thomas Hobbes (1588-1679)
h) John Locke (1632-1704)
i) Montesquiue (1689-1755)
j) Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
k) Hegel (1770-1831)

5. MASA ISLAM
Pemikiran Islam dapat dilihat dengan dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris, Aspek Isoteris adalah aspek yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu, aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan aspek eksoteris berarti bebas tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni. Dalam dinamika Intelektual Islam, perbedaan pandangan dengan menggunakan kedua aspek tersebut, seringkali menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah mencatat, munculnya berbagai madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan kelompok-kelompok dalam Islam, mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam, baik dari masa klasik hingga modern.
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan dari karakter dari dinamika pemikiran Islam, dengan fokus keberagaman pemikiran dalam sejarah pemikiran Islam semenjak masa klasik sampai modern, selain itu tulisan ini mencoba mencermati pengaruh keragaman tersebut pada dinamika pemikiran islam di Indonesia.
Islam di Madinah bisa dikatakan awal dari pada bangunan dasar dari peradaban dunia. Berbeda dengan di Mekkah yang lebih banyak berbicara tentang keberagamaan secara individu. Pada fase ini, Islam banyak berbicara tentang kemasyarakatan. Kitab suci Islam juga telah banyak menyinggung persoalan ini. Bahkan pada periode ini, Nabi Muhammad telah menunjukan cara hidup yang tepat untuk zaman modern yang membutuhkan kearifan untuk membaca realitas.
Dalam sejarah Islam sendiri perbedaan yang ditandai dengan pendirian, mahzab, firqah, partai, dan kelompok diawali pada masa kepemimpinan Ali. Digambarkan bahwa Ali tidak dapat memimpin secara tenang karena negara pada saat itu berada dalam keadaan kacau, sebagai imbas yang muncul akibat kematian Utsman. Para sahabat menuntut agar Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah pengganti Utsman, mengusut tuntas kasus tersebut. Ali merasa kesulitan untuk mengusut kasus tersebut. Karena ketidakpuasan para sahabat seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, maka meletuslah Perang Jamal. Ali berhasil memadamkan perlawanan itu. Akan tetapi pergolakan masih terus mengalir. Kali ini dipimpin oleh Muawiyah. Muawiyah memiliki tuntutan yang sama: usut pembunuhan Utsman. Tuntutan ini juga berakhir dengan perang, yang disebut dengan Perang Shiffin. Perang Shiffin dengan segala sesuatu yang terjadi dengannya, bisa dikatakan tonggak awal dari terbentuknya firqah-firqah dalam Islam.
Pada perang ini, perbedaan tafsiran mulai tampak dikalangan kaum muslim. Walau pada mulanya beranjak pada perbedaan kebijakan politik, antara Ali dengan kelompoknya dalam menghadapi tawaran Tahkim oleh kelompok Muawiyah. Ali sebenarnya menolak, namun terus mendapat desakan dari para sahabat. Tahkim ini dengan sendirinya melahirkan kekisruhan yang lebih nyata lagi, yaitu adanya muslihat dari kelompok Muawiyah. Masalah lain yang juga timbul pada saat itu adalah munculnya orang-orang yang berpikiran sempit dari kalangan Ali yang tidak sepakat, dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Golongan ini dikenal sebagai Khawarij.
Khawarij ini memiliki karakter kaku, sempit, puritan dalam menafsirkan agama. Khawarij berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah adalah salah, karena telah melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama yang esensi. Jadi, mereka mesti dibunuh, itulah logika beragama yang dibangun. Dan sejarah mencatat, hanya Ali yang terbunuh. Mulai saat itu, kepemimpinan beralih kepada Muawiyah dan diteruskan oleh keturunannya. Bukan itu saja, kepemimpinan Islam yang demokratis beralih menjadi kepemimpinan yang monarki. Kepemimpinan model ini terus bertahan sampai berakhirnya kekhalifahan Islam di Turki, pada awal abad dua puluh.
Walau berada dalam keadaan monarki. Islam semakin hari semakin berkembang. Pada era Bani Umayah, Islam meluaskan ekspansinya ke daerah-daerah Timur Sedangkan pada masa dinasti Abassiah adalah periode keemasan ilmu pengetahuan Dari kedokteran, filsafat, hukum, kalam, mantiq, astronomi dan lain-lain. Walaupun begitu, polarisasi dalam tubuh umat Islam masih ada, bahkan semakin kuat. Ini dibuktikan dengan adanya firqah atau mahzab dalam Islam. Baik di bidang politik, kalam (teologi), fiqh, filsafat maupun tasawuf.
Dalam bidang ilmu Kalam (displin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya, yang juga disebut sebagai Islamic Phylosophy) generasi pertama-pertama yang muncul adalah kelompok Qadariah dan Jabbariah. Qadariah
adalah paham yang yang meyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan mesti bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sedangkan Jabbariah adalah bentuk sebaliknya. Bagi Jabbariah, manusia adalah makhluk terpaksa, tidak bebas, diatur oleh Tuhan. Tetapi diantara perbedaan kalam itu, yang paling menarik untuk dicermati adalah antara Mu’tazilah dan Ahlul Sunnah atau juga disebut dengan kaum al-Asya’ari.
Seperti juga Qadariah, Mu’tazilah adalah kelompok kalam yang menekankan rasionalisasi dan kebebasan kehedak manusia. Akan tetapi tesis Mu’tazilah ini dibantah Ahlul Sunnah. Bagi Ahlul Sunnah manusia memang bebas berkehendak. Tetapi yang menariknya, kehendak manusia ini ditentukan oleh kehendak yang lebih kuat, yaitu kehendak Tuhan. Secara sepintas teologi ini mencoba netral. Akan tetapi mereka lebih dekat kepada sikap fatalistik (menyerah pada takdir atau nasib), seperti yang pernah dikampanyekan oleh Jabbariah.
Perbedaan Kalam ini ternyata tidak saja pada tataran wacana, melainkan juga telah merambah ke ranah politik. Salah satu tragedi kalam terbesar adalah ketika pada masa Bani Abassiah tepatnya masa al-Ma’mun. Pada masa ini terjadi pemaksaan untuk mengakui bahwa al-Quran adalah adalah makhluk. Bahkan seorang imam mahzab terkenal, Imam Ahmad Ibnu Hambal menjadi korban dari kebijakan itu. Perbedaan dalam fiqh juga ada. Bahkan lebih dinamis dari pada yang lain, tanpa menyebabkan tragedi seperti diatas. Perbedaan fiqh hanya menimbulkan rasa fanatik pada pengikut mahzab. Perbedaan fiqh ini sendiri terjadi karena perbedaan tempat, waktu, budaya dan situasi, dimana hukum itu tumbuh.
Perbedaan dalam tradisi Islam bisa bertahan dan terus dinamis, karena memang secara dogma baik dalam al-Quran maupun sabda nabi, memberikan kebebasan umatnya untuk ber-ijtihad (usaha sungguh-sungguh menggali kebenaran). Dan yang menariknya, Islam tidak mengenal sistem kependetaan, yaitu sistem keagamaan yang memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran. Katakanlah lembaga fatwa, baik yang berada di Timur Tengah maupun di Indonesia, tidak memiliki otoritas yang berlebih. MUI (Majelis Ulama Indonesia) misalnya, kelompok ulama ini hanya berfungsi untuk untuk memberi fatwa keagamaan di tengah masyarakat, mempererat ukhuwah Islamiyah, mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama serta menjadi penghubung dan penerjemah antara ulama, umara dan umat. Bahkan lembaga ini hanya mampu mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak “berkelas”, karena hanya berkutat pada masalah-masalah kecil.
Berbeda dengan Syi’ah, unsur otoritasnya lebih kuat, akan tetapi tidak sama dengan pendeta. Dalam Syi’ah ada lembaga Wilayatul Faqih. Konsep wilatul faqih didasarkan pada prinsip Imamah. Wilayahtul faqih ini bertugas untuk membimbing umat baik dalam masalah agama maupun sosial politik.
Selengkapnya...