Pages

Cari Blog Ini

Minggu, 29 Mei 2011

Takhrijul Hadits

A. Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij menurut lughat berasal dari kata خرج, yang berarti ‘tampak’ atau ‘jelas’. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan, melatih, dan menghadapkan.
Sedangkan takhrij menurut istilah di jelaskan sebagai berikut :
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
2. Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang lainnya.
3. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannnya dari kitab-kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad-sanad hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pen-takhrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis ( sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan ), baik menyangkut materi atau isi ( matan ), maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan .

B. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadits
Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadis-hadis dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut.
Takhrij hadis memberikan manfaat yang sangat banyak sekali. Dengan adanya takhrij kita dapat sampai kepada perbendaharaan-perbendaharaan sunnah Nabi. Tanpa keberadaan takhrij seseorang tidak mungkin akan dapat mengungkapkannya. Diantara kegunaan takhrij adalah :
1. Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadis berada beserta Ulama yang meriwayatkannya.
2. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadis-hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadis, maka semakin banyak juga perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dhal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shohih, dhoif, dsb.
4. Takhrij memperjelas hukum hadis dengan banyak riwayatnya itu. Terkadang kita dapatkan suatu hadis dho’if melalui satu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan akan kita dapati riwayat lain yang shahih. Hadis yang shahih itu akan mengangkat hukum hadis yang dho’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
5. Dengan takhrij kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum hadis.
6. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar. Karena terkadang kita dapati seorang perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dll. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
8. Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi Mudalis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.
9. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13. Takhrij dapat menghilangkan hukum “Syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwaya tsiqat) yang terdapat pada suatu hadis melalui perbandingan riwayat.
14. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilami oleh seorang perawi.
16. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17. Takhrij dapat membedakan antara proses periwiyatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan makna saja.
18. Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadis.
19. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis. Diantara hadis-hadis ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang. Melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al wurud” dalam hadis tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
20. Takhrij dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandinga-perbandingan sanad yang ada .

C. Sejarah Takhrij Hadits
Para ulama dan peneliti hadis terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrij (Usulul-takhrij), karena pengetahuan mereka sangat luas dan ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber sunnah. Ketika mereka membutuhkan hadis sebagai penguat, dalam waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadis, bahkan juznya. Atau setidaknya mereka dapat mengetahuinya dalam kitan-kitab hadis berdasarkan dugaan yang kuat. Disamping itu, mereka mengetahui sistematika penyusunan kitab-kitab hadis, sehingga mudah bagi mereka untuk mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan hadis. Hal seperti itu juga mudah bagi orang yang membaca hadis pada kitab-kitab selain hadis, karena ia berkemampuan mengetahui sumbernya dan dapat sampai pada tempatnya dengan mudah.
Kedaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama tentang kitab-kitab hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk mengetahui tempat-tempat hadis yang menjadi dasar ilmu syar’i, seperti fikih, tafsir, sejarah, dan sebgainya. Berangkat dari kenyataan inilah, sebagian ulama bangkit untuk membela hadis dengan cara mentakhrijkannya dari kitab-kitab selain hadis, menisbatkannya pada sumber asli, menyebutkan sanad-sanadnya, dan membicarakan keshahihan dan kedha’ifan sebagian atau seluruhnya, maka timbullah kitab-kitab takhrij. Kitab-kitab yang mula-mula dikarang adalah kitab-kitab yang di takhrijkan hadisnya oleh Al-khatib Al-Bagdadi(-463 H). Diantaranya kitab-kitab yang populer adalah: Takhrijul Fawa’idil Muntakhabah As-Shihhah Wal Gara’ib, karya As-syarif Abul Qasim Al-Husaimi; Takhrijul Fawa’idil Muntakhabah As-Shihhah Wal Gara’ib, karya Abul Qasim Al-Mahrawani, yang keduanya masih berupa manuskrip, serta kitab Takhriju Ahadisil Muhazzab, karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi As-Syafi’i, yang wafat tahun 584 H. Sedang kitab Al-Muhazzab, adalah karya Abu Ishaq As-Syirazi.
Setelah itu, kemudian berturut-turut muncul kitab-kitab takhrij, hingga menjadi populer dan banyak sekali jumlahnya sampai berpuluh-puluh kitab. Karena itu, ulama ahli hadis mempunyai perhatian yang besar terhadap kitab-kitab yang telah ditakhrijkan hadisnya dan berikutnya mereka mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap hadis nabi, sehingga tertutuplah kesempatan yang banyak untuk menjelaskan kitab-kitab hadis. Seandainya mereka tidak menempuh usaha yang besar ini, tentu terdapat ketimpangan yang banyak dalam mengembangkan kitab-kitab ilmu syar’i dan dewasa ini kita akan mengalami susah payah untuk mencari sumber-sumber hadis. Semoga Allah senantiasa membalas para ulama salaf yang telah mencurahkan segala upaya demi terciptanya kitab-kitab tersebut, guna semata-mata mencari ridha Allah.
Kemudian datanglah masa yang jauh berbeda dengan masa-masa tersebut, yaitu jika seseorang yang menuntut ilmu menjumpai suatu hadis dalam kitab yang hanya menyebutkan petunjuk singkat terhadap sumber aslinya, maka ia tidak mengetahui cara memperoleh teks hadis tersebut pada sumber aslinya. Hal ini karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang cara penyusunan kitab yang menjadi sumber asli tersebut dan pembagian babnya. Demikian juga, jika ia hendak menguatkan dengan hadis dalam suatu pembahasannya, sedang ia mengetahui bahwa hadis yang dimaksud terdapat dalam shahih bukhari, musnad ahmad atau mustadrak alhakim, maka ia tidak akan mendapatkannya dalam sumber asli, karena mereka tidak mengetahui sistematika penyusunannya .
D. Hal Yang Mendasar Dalam Takhrij Hadits
Mentakhrij matan suatu hadis berarti mengungkap perawi hadis tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentaakhrij suatu hadis hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadis tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya, ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara membandingkan diantara sanad-sanadnya yang ada.
Bila kita dihadapkan upaya mencari hadis dengan sahabat sebagai penerima dari Nabi SAW lebuh dari satu, maka kita harus mencari sahabat yang meriwayatkannya keseluruhan seperti yang diminta. Seperti: suatu hadis diriwayatkan oleh ulama hadis dari dua sahabat (A dan B). Hadis dengan perawinya A dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya, dalam bab ini, jilid sekian, halaman sekian, nomor hadis sekian dan lain-lain dengan menyebutkan nama-nama perawi yang terdapat dalam sanadnya. Adapun hadis dengan perawinya B dikeluarkan oleh Fulan dalam kitabnya dan seterusnya seperti diatas.
Dan bila dihadapkan upaya mencari hadis dengan sahabat sebagai penerima dari nabi satu orang, maka cukuplah kita mencarinya pada satu sahabat itu. Namun bila kebetulan mendapatkan sahabat yang lain meriwayatkannya dari Nabi, maka kedudukan hadis itu adalah sebagai syahid terhadap hadis yang kita cari. Kewajiban kita hanyalah meneliti seluk beluk hadis selain yang menjadi syahidnya itu. Akan lebih baik bila disertakan pula hadis syahidnya itu.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadis adalah materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan sahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadis. Memang wajar bila dalam suatu hadis terdapat perbedaan kata dalam matan. Imam Zaila’i berkata: “kewajiban seorang muhaddis hanyalah membahas materi hadis dan meneliti perawi yang mengeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.”
Imam Al-Sakhawi berkata : “Para ahli takhrij tidak berbuat sendiri-sendiri terhadap hadisnya. Kebanyakan mereka berbuat menurut kitab induk hadis-hadis tersebut dan begitu pula dengan sanad-sanadnya. Setelah menyelesaikan suatu hadis, mereka berterus terang menisbatkannya kepada, katakanlah, Imam bukhari atau Imam Muslim atau kepada keduanya, sekalipun terdapat perbedaan lafal dengan beliau berdua. Yang mereka kehendaki hanyalah materi pokok hadis.”
Al – Hafidz al iraqi dalam pengantar kitabnya berkata : “saya menisbatkan hadis kepada ulama yang mengeluarkannya, bukan kepada perbedaan lafalnya.”
Dan dalam kitabnya yang lain beliau juga berkata : “sengaja saya menisbatkan hadis kepada ulama yang mengeluarkan hadis tersebut, karena saya inginkan adalah materi hadis tersebut dan bukan lafal hadis itu sendiri menurut ketentuan-ketentuan mustakhraj.”
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa takhrij mengenalkan kitab-kitab induk hadis dengan segala seluk beluk hadis tersebut berikut metode-metode yang dipakainya. Akan lebih baik lagi bila ini dilakukan dihadapan guru-guru yang berpengalaman. Hal ini menambah kemudahan – kemudahan mencapai tujuan.
Materi-materi keislaman diantaranya bersumber kepada sunnah Nabi. Untuk mencari suatu hadis mengharuskan penggunaanilmu takhrij. Dengan ilmu takhrij ini kita akan lebih tahu kitab-kitab terdapatnya hadis-hadis yang menjadi bahasannya .
Takhrij tidaklah terbatas pada matan hadis, akan tetapi mencakup:
1. Mentakhrij matan hadis dari berbagai kitab induknya.
2. Mentakhrij sanad-sanad hadis beserta biografi dan penilaian terhadap perawi.
3. Mentakhrij lafal-lafal yang asing melalui kitab-kitab yang berhubungan dengan itu.
4. Mentakhrij lokasi kejadian dalam hadis melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu.
5. Mentakhrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bidangnya.

E. Metode Takhrij Hadits
Secara garis besar, ada dua cara mentakhrij hadis dengan menggunakan kitab-kitab. Adapun dua macam cara takhrijul hadis yaitu :
1. Metode Takhrij hadis menurut Lafadh pertama
Metode Takhrij hadis menurut Lafadh pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada lafazh pertama matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfebitis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadis yang dimaksud.
Adapun kitab yang menggunakan metode ini, diantaranya kitab Al-Jami’ As-Shagir fi Ahadits Al-Basyir An-Nazir, yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadhil Abd Ar-Rohman Ibn Abi Bakar Muhammad Al-Khudri As-Suyuti. Dalam ini, hadis-hadis disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah sehingga pencarian hadis yang dimaksud sangat mudah. Juga didalamnya dimuat petunjuk para mutakhrij hadis yang bersangkutan (dalam mashdar al-ashli) dan pernyataan kualitas hadis yang bersangkutan.
Contohnya hadis Nabi berikut ini,
الشد يد با الصر عة ليس
Untuk mengetahui lafazh lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri panggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafazh yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah,
عن ا بي هر يرة ان رسو ل الله صلي الله عليه وسلم قال: ليس الشديد با لصرعة انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب
"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulluah SAW. Bersabda: (ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah.”
Bila hadis itu dikutip dalam karya tulis ilmiah, sesudah lafazh matan dan nama sahabat periwayat hadis yang bersangkutan ditulis, nama Imam Muslim disertakan. Biasanya kalimat yang di pakai adalah,
رواه مسلم
Nama sahabat periwayat hadis dalam contoh diatas adalah abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. Kalimat yang dipakai adalah,
روا ه مسلم عن ابي هريرة
Dalam kitab Shahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagaimana lazimnya.
2. Metode Takhrij menurut Lafazh-Lafazh yang terdapat dalam Hadis
Metode takhrij hadis menurut lafazh yang terdapat dalam hadis, yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapatdalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazh Al-Hadis An-Nabawi, yang disusun oleh A.J. Wensink dan kawan-kawan, yang kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqi. Kitab yang menjadi rujukan kitab kamus tersebut adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ad-Darimi, Muawatha Imam Malik, dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
Contohnya hadis berikut ini.
عن علي ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: رفع القلم عن ثلا ثة: عن النائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يشب وعن المعتو حتي يعقل
Dalam mencari hadis tersebut, kita bisa menggunakan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fazh Al-Hadits An-Nabawi, berdasarkan kata kunci رفع , القلم ,dan ثلا ثة.
Kata رفع dicari pada juz yang memuat huruf awal (dalam hal ini juz II), kata القلم dicari pada juz yang memuat huruf qaf (dalam hal ini juz V), dan kata ثلا ثة dicari pada juz yang memuat huruf tsa (dalam hal ini juz I).
Setelah masing-masing juz diperikasa, yakni untuk tiap-tiap penggalan matan yang dimaksud, data yang disajikan oleh kitab-kitab Al-Mu’jam Al-Mufahros li Al-fadz Al-Hadis An Nabawi, adalah sebagai berikut.
Juz Hlm. Lambang yang Dikemukakan
I 298 د حدود 17
II 280 خ حدود 22 ,طلا ق 11 ,د حدود 17
V 465 خ حدود 22 ,طلا ق 11 ,د 17 ,ت حدود
د حدود 17
ن طلاق 21,جه طلا ق 15,دي حدود 1
1002, 116, 118, 140, 155, 158, 1 حم

Dari data diatas, dapat diketahui bahwa informasi yang diperoleh lewat penelusuran kata القلم , yang dimuat dalam juz V, ternyata lebih banyak lagi daripada yang berasal dari juz I dan juz II.

F. Langkah-Langkah Praktis Penelitian Hadits
Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan penelitian matan.
1. Penelitian Sanad dan Rawi Hadis
a) Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij
b) Itibar, yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis-hadis tertentu, dan hadis tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi yang lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.
Langkah ini tidak dapat ditinggalkan sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian terhadap karakteristik setiap rawi, perlu diketahui terlebih dahulu rangkaian para perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan dengan membuat skema sanad.
c) Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad (penelitian asma ar-ruwat). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama secara lengkap yang mencakup nama, nisbat, kunyah, dan laqab setiap rawi dalam kitab-kitab Rijal al-hadis, seperti kitab Tahdzib At-tahdzib.
d) Meneliti tarikh ar-ruwat, yaitu meneliti al-masyayikh wa al-talamidz (guru dan murid) dan al-mawalid wa al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini dapat diketahui bersambung atau tidaknya sanad.
e) Meniliti al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya (keadilan dan ke-dhabit-an).
2. Penelitian matan
Sebagai langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui kemungkinan adanya illat dan syudzudz padanya. Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadis, baik teknik pelaksanaannya maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil analisis matannya daripada penelitian sanad.
Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang bersangkutan dengan tema matan hadis, memahami isi Al-Qur’an, baik tekstual maupun kontekstual, memahami prinsip-prinsip ajaran islam, mengetahui metode istinbath, dan sebagainya .
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
At-Tahhan, Mahmud.1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis. Terj Ridlwan Nasir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Mahdi, Abu Muhammad Abdul. 1994. Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar